“MENEGAS-NEGAS
PANGGILAN”
Bukan
kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah
menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap,
supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu (Yoh 15: 16-17).
amudra panggilan begitu luas untuk diarungi, begitu dalam
untuk diselami, dan begitu tinggi untuk didaki. Saya begitu kecil, lemah,
rapuh, dan tak berdaya tetapi sedang berakit-rakit di tengah samudra itu.
Keuskupan Padang, sebuah lahan Tuhan
yang pernah saya singgahi sepintas lalu di pertengahan tahun 2005, kini kembali
saya kunjungi, kenali, dan gauli untuk ”menambatkan” hati serta mengabdi
Tuhan di sana. Apakah semuanya serba jelas? Tidak. Seperti Abraham yang mencoba
berani ”melangkah” tatkala semuanya masih berjalan di dalam keremangan
untuk ”melepaskan” kenyamanan diri. Melangkahkan kaki ke keuskupan
Padang menjadi langkah awal dalam menapaki hidup panggilan, serba baru dan
penuh tantangan.
Saya ”diceburkan” di tengah
lautan yang luas tak bertepi, penuh keganasan gelombang, dan tanpa pelampung
(pengaman). Saya dihadapkan pada 2 pilihan yaitu berani melangkah dengan segala
risiko yang ada atau diam tanpa pengalaman kebaruan sekalipun. Saya tiba pada
sebuah kesadaran bahwa setiap peristiwa “terberi” (=sebagai rahmat Allah)
yang patut disyukuri. Saya bersyukur bisa sampai di Bubuakat, Purorogat, Limu,
dan Sioban dengan menembus gelombang laut. Dalam setiap peristiwa, saya
menemukan sebuah “kunci” yang harus saya gunakan yaitu berserah (pasrah) dan
mengandalkan Allah saja. Saya membiarkan tangan dan rencana Allah yang bekerja.
Sungguh, kepasrahan memampukan saya untuk menjalani setiap peristiwa dengan
gembira. Ketakutan saya terhadap laut, ketidakmampuan berenang telah diubah
menjadi “kebaruan” dan itu menjadi kegembiraan. Saya harus “menyatu”
dengan alam, “larut” dalam kesatuan dengan semesta. Ketika ketakutan begitu “mencengkeram”
dan membawa saya kepada “kondisi kritis”, saya mendapatkan
dukungan untuk berani “mengatasi” nya. Satu hal yang saya
pelajari selama tinggal di Sikakap yaitu masuk ke dalam “kesunyian”, ketenangan,
hening tanpa kegaduhan, dan persaudaraan yang akrab. Satu kekayaan saya peroleh
melalui perjalanan ke Sikakap-Mentawai.
Hening, sunyi, dan tenang adalah situasi
hidup yang selanjutnya saya telusuri di Radio DB. Masuk ke dalam permenungan
dan kedalaman hati untuk bertegur-sapa dengan Allah, meluangkan waktu untuk
akrab dan menjalin relasi yang “intim” dengan Allah. Inilah masa “novisiat”
kedua, pengalaman untuk “pacaran dan jatuh cinta” dengan
Allah. Suara Allah begitu lembut dan halus mengundang, suara Allah menuntut
keheningan untuk menangkapnya. Pilihan untuk menjadi seorang religius
(rohaniwan) mengharuskan saya untuk memprioritaskan hidup doa. Saya harus
semakin banyak “berbicara dengan” Tuhan. Saya pun sadar bahwa godaan untuk
meninggalkan doa cukup besar. Saya patut bersyukur karena boleh belajar untuk
tinggal dalam “kuil” doa lewat permenungan harian yang saya buat setiap hari.
Doa yang menurut penilaian banyak orang
sebagai tindakan yang “membuang-buang” waktu sungguh
memberikan ketenangan batin, kesegaran jiwa, dan “membasuh” hidup dalam
kesatuan dengan semesta. Saya menghadirkan diri dalam segala kelemahan,
ketakmampuan diri tetapi juga melambungkan harapan kepada Allah sekaligus
menghadirkan rasa syukur lewat doa dan pujian. Saya sudah mengalami sendiri
betapa doa memberikan kekuatan, meneguhkan tatkala saya menjalani krisis hidup,
“padang
gurun” selama 2 tahun. Ketika semuanya tidak mampu memberikan
penghiburan, ketika hari terasa berlalu sepi, ketika tanah kering dan retak
menyiratkan “kemarau hidup” yang panjang, doa hadir memberikan kekuatan dan
kegembiraan. Doa bagaikan mata air pegunungan yang memberikan kesejukan ketika
kita “membasuh” wajah dan membilas segala “hablur” debu di tubuh,
doa meringankan beban “salib” yang harus disandang dan
menyalakan sumbu yang pudar nyalanya untuk menuntun langkah kaki yang gontai.
Saya bukanlah seorang pendoa yang ulung
tetapi saya mau berusaha untuk bertahan di bawah “kerindangan” doa. Bertahan
kendati tidak mendapatkan apa-apa bahkan mengalami desolasi (kekeringan). Selama
ini, saya berusaha untuk hadir dalam kebersamaan ibadat sore di Wisma Keuskupan
dan ibadat pagi serta Ekaristi dengan komunitas Katedral. Saya berusaha untuk
terus “membenamkam” diri dalam ibadat Taize di dalam kamar. Tidak ada
yang mengawasi tetapi harus muncul dari kesadaran diri. Saya yang berusaha
untuk terus-menerus membangun “pondasi” doa patut bersyukur karena
mendapatkan keteladanan doa dari pastor Adolfo Larufa SX. Saya berusaha
untuk hadir dan menemani beliau dalam kebersamaan doa.
Keheningan doa membantu saya untuk
mendengarkan suara ”sang gembala.” Ada begitu banyak suara gembala yang ter-ngiang
di telinga, tetapi apakah suara itu sungguh saya kenali? Tidak jarang bahwa
suara yang tidak saya kenali itu justru yang saya ikuti. Yesus setiap hari
melakukan pendekatan dari hati ke hati
kepada saya lewat perjamuan Ekaristi, Dia berbicara dan ”menyentuh” saya dengan
perasaan sayang-Nya, apakah saya sungguh mengenali ”suara dan sentuhan-Nya?” Saya terus belajar mengenal Dia
dan mengikuti Dia. Pengenalan saya akan Yesus menuntut kesiapan saya untuk ”digiring”
oleh Dia. Dialah satu-satu-Nya gembala yang akan menuntun saya ke ”padang rumput panggilan”
yang hijau.
Panggilan yang Tuhan tanamkan di dalam
diri saya ibarat ”benih” kecil yang sedang disemai. Saya adalah ”tanah”
yang menampung benih itu. Supaya subur, saya harus membiarkan Tuhan ”membajak”
diri saya dan menaburinya dengan ”pupuk” yang membantu pertumbuhan dan
perkembangan benih itu. Panggilan di dalam diri saya tidak akan bertumbuh dan
berkembang jika tidak mendapatkan ijinan dari Allah maka hal yang terpenting
yaitu siapa yang memberi pertumbuhan? Allahlah yang memberi pertumbuhan. Supaya
dapat bertumbuh dan berbuah, saya harus ”tinggal dan menetap” di dalam Yesus.
Saya adalah ”ranting” dari pokok anggur yaitu Yesus. Saya rapuh dan mudah ”patah”,
jika lepas dari Dia saya akan ”mandul” dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Maka satu-satunya ”jalan” yang harus saya tempuh ialah mengakarkan hidup di dalam
Yesus.
Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan
sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum
itu menang
(Mat 12: 20).
uhan
begitu baik, Dia memberikan kesempatan kepada saya untuk datang dan “belajar”
di Keuskupan Padang supaya “sumbu panggilan” saya tidak padam melainkan tetap
“menyala.”