Minggu, 16 November 2014

Terlintas Ingatan Bersamamu

DIHADAPANMU BUNDA



Dalam kesedihan hati nan mencekam, aku hadir dihadapanmu bunda
Duduk termangu pandangi tubuhmu, tergolek lemah seiring waktu berlalu

Tiga puluh menit aku terpana, renungi jalan hidupku bersamamu
Tidakkah kau lihat sorot mataku, merah, teteskan air mata

Kusembunyikan kesedihan itu dihadapanmu, tak ingin engkau ketahuinya
Biar kutanggung semuanya sendiri, semampu daya dalam tubuh

Oh…betapa penat perasaan menusuk, lukai kalbu nan peka
Kuhadapi kenyataan yang sembilu, timbulkan luka menggores di hati

Dua puluh tujuh tahun berjalan sertamu, temani hari-hari penuh suka-duka
Betapa manis kenanganmu terekam dalam ingatan
Takkan kulupakan sampai maut menjemput

Wahai Tuhan, aku bersyukur atas ibu ini
Hatinya begitu sayang padaku, bagaikan mutiara cemerlang kilaunya
Kan kurawat agar memancar luas

Tiada jasa yang kubuat bagimu bunda, banyak kesedihan yang kuhadirkan
Engkau harus banyak menahan sabar, tuk semua kegilaanku

Dihadapan bundaku tersayang, kutangisi perpisahan kita
Hari-hari hidupku akan hampa, tanpa kehadiran senyum manismu

Berbahagialah engkau bersama Allahmu, yang selalu kau cari dalam hidupmu
Kunantikan perjumpaan kita kembali, dalam surga abadi


Anakmu yang mencintaimu,


Fr. Pardomuan Benedictus Manullang

Merangkai Kenangan

DALAM DIAM, ENGKAU MEMILIH PERGI



Kurintis kembali lukisan kakimu, ayah
Debu kakimu masih terukir di Samperaja
Kau langkahkan kaki remajamu setamat sekolah
Mengolah hidup di bawah payung awan Jakarta.

Ibukota bergelora, sebarkan bau amis darah
Tahun enam lima, kau berpijak di titik Harmoni
Anak dusun sepi mulai menulis sejarah
Tinta hidup bakti tersemat dalam nurani.

Lakon Adam-Hawa persatukan kalian dalam dunia cerita
Kisah bersambung hingga meniti bahtera keluarga
Layar terkembang, merengkuh bersama arungi lautan cinta
Kisah Adam-Hawa berakhir pada episode tiga dasa

Dalam permenungan harianku, betapa aku rindu padamu
Kau bawa aku terbang tuk bicara dalam bahasa kalbu
Di sana, dalam kamar batin kita beradu sapa
Hanya kita berdua dan kubuka luka yang pernah kutoreh disana

Aku tahu, engkau sedih namun tak kuasa berkata
Tak kutangkap pesanmu dalam diammu ayahku tercinta
Dengan tenang seteduh pelukan damai kau tutup mata
Dalam diam yang panjang, engkau memilih pergi kepada Bapa

Kami baringkan tubuhmu bersama perempuan pilihanmu
Damai, bahagialah kalian selalu
Memuji Allah dengan paduan surgawi merdu
Sampai saatnya kita bersua berpadu


Anakmu yang selalu mencintaimu
Saya tuliskan ini tuk mengenang 2 tahun kepergianmu

Salam, fr. Pardomuan Benedictus Manullang

Merenungkan Maria

MARIA, PEREMPUAN BERIMAN



        Dalam kesempatan ini, hendaknya kita selalu berefleksi tentang pribadi Maria dan mendalami imannya. Perkataan Yesus dalam dua teks kitab suci berikut terkesan “keras” namun mau menyatakan kebesaran iman Maria. Yesus mengatakan: “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya” (Lukas 11: 27-28.) Sedangkan teks lain berbunyi: “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya” (Lukas 8: 21.)
        Tidak ada pribadi yang lebih mendengarkan Sabda Tuhan selain daripada Maria; dia terbuka dan siap menampung seluruh Sabda. Maria adalah teladan sempurna tentang cara orang harus mendengarkan. Dalam peristiwa pernikahan di Kana, Maria menampilkan kualitas mendengarkan yang luar biasa dengan mengatakan kepada para pelayan: “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu.” Nyatalah adanya hati, adanya kehendak yang terbuka seluruhnya pada Allah.
        Saat Maria menyatakan “Ya” atas warta malaikat Gabriel, dia mulai melangkah ke masa depan yang tidak dikenalnya. Beriman berarti “melangkah”, menyerahkan seluruh hidup meski tanpa ada jaminan. Iman yang sejati selalu terbuka, bersedia untuk bertumbuh. Lewat permenungan misteri Sang Putra di dalan hati, Maria mengikuti Dia ke mana pun Ia menuntunnya serta membiarkan hidupnya dibentuk oleh Putra. Pada akhirnya, semua membawa dia ke Kalvari, dia ikut serta dalam kematian Putranya. Perpisahan karena kematian tragis merupakan sebagian misteri Ilahi Yesus yang selalu kurang ditangkap ibu-Nya. Inilah uraian “Fiat” mengenai segala sesuatu yang tidak diterangkan oleh malaikat dan harus diketemukan Maria dalam peristiwa penyaliban. Saat Yesus mati sebagai “penjahat”, sahabat-sahabat-Nya yang paling dekat, para pengikut-Nya yang setia lari tungganglanggang meninggalkan Dia. Hanya Maria yang bertahan dalam iman di antara kematian dan kebangkitan.
        Penyair Gerard Manley Hopkins SJ menyimpulkan kehidupan Maria dalam beberapa baris berikut ini:

Maria tak bernoda
……yang wajib kerjakan satu ini saja.
Biar semua kemuliaan Allah terbawa
Kemuliaan Allah yang harus memancar
Melalui dia dan dari dia keluar
Mengalir, dan hanya jalan itu saja.


        Dia membiarkan semua kemuliaan Allah terbawa: tidak ada yang tertinggal karena ia murni bagaikan kristal, terkandung tak bernoda. Bagaikan bumi kering haus, ia terbuka dan tersedia, menjadi tumpuan penonton yang terbentuk oleh sejarah bangsanya sepanjang jaman, yang menantikan pewahyuan kemuliaan Allah di tengah mereka. Ia sejernih kaca maka kemuliaan Tuhan sepenuhnya turun ke dunia lewat dia. Bagaikan salju jernih jatuh di pegunungan, ia mengarahkan pandangannya kepada Tuhan saja; dan di bawah sinar surya ia menjadi air mengalir yang membawa hidup ke lembah-lembah.





Pesta St. Filipus dan St. Yakobus

Pardomuan Benedictus M.

Sabtu, 15 November 2014

Refleksi Panggilan

“MENEGAS-NEGAS PANGGILAN”


Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya  kepadamu (Yoh 15: 16-17).

S
amudra panggilan begitu luas untuk diarungi, begitu dalam untuk diselami, dan begitu tinggi untuk didaki. Saya begitu kecil, lemah, rapuh, dan tak berdaya tetapi sedang berakit-rakit di tengah samudra itu.  
        Keuskupan Padang, sebuah lahan Tuhan yang pernah saya singgahi sepintas lalu di pertengahan tahun 2005, kini kembali saya kunjungi, kenali, dan gauli untuk ”menambatkan” hati serta mengabdi Tuhan di sana. Apakah semuanya serba jelas? Tidak. Seperti Abraham yang mencoba berani ”melangkah” tatkala semuanya masih berjalan di dalam keremangan untuk ”melepaskan” kenyamanan diri. Melangkahkan kaki ke keuskupan Padang menjadi langkah awal dalam menapaki hidup panggilan, serba baru dan penuh tantangan.
        Saya ”diceburkan” di tengah lautan yang luas tak bertepi, penuh keganasan gelombang, dan tanpa pelampung (pengaman). Saya dihadapkan pada 2 pilihan yaitu berani melangkah dengan segala risiko yang ada atau diam tanpa pengalaman kebaruan sekalipun. Saya tiba pada sebuah kesadaran bahwa setiap peristiwa “terberi” (=sebagai rahmat Allah) yang patut disyukuri. Saya bersyukur bisa sampai di Bubuakat, Purorogat, Limu, dan Sioban dengan menembus gelombang laut. Dalam setiap peristiwa, saya menemukan sebuah “kunci” yang harus saya gunakan yaitu berserah (pasrah) dan mengandalkan Allah saja. Saya membiarkan tangan dan rencana Allah yang bekerja. Sungguh, kepasrahan memampukan saya untuk menjalani setiap peristiwa dengan gembira. Ketakutan saya terhadap laut, ketidakmampuan berenang telah diubah menjadi “kebaruan” dan itu menjadi kegembiraan. Saya harus “menyatu” dengan alam, “larut” dalam kesatuan dengan semesta. Ketika ketakutan begitu “mencengkeram” dan membawa saya kepada “kondisi kritis”, saya mendapatkan dukungan untuk berani “mengatasi” nya. Satu hal yang saya pelajari selama tinggal di Sikakap yaitu masuk ke dalam “kesunyian”, ketenangan, hening tanpa kegaduhan, dan persaudaraan yang akrab. Satu kekayaan saya peroleh melalui perjalanan ke Sikakap-Mentawai.
        Hening, sunyi, dan tenang adalah situasi hidup yang selanjutnya saya telusuri di Radio DB. Masuk ke dalam permenungan dan kedalaman hati untuk bertegur-sapa dengan Allah, meluangkan waktu untuk akrab dan menjalin relasi yang “intim” dengan Allah. Inilah masa “novisiat” kedua, pengalaman untuk “pacaran dan jatuh cinta” dengan Allah. Suara Allah begitu lembut dan halus mengundang, suara Allah menuntut keheningan untuk menangkapnya. Pilihan untuk menjadi seorang religius (rohaniwan) mengharuskan saya untuk memprioritaskan hidup doa. Saya harus semakin banyak “berbicara dengan” Tuhan. Saya pun sadar bahwa godaan untuk meninggalkan doa cukup besar. Saya patut bersyukur karena boleh belajar untuk tinggal dalam “kuil” doa lewat permenungan harian yang saya buat setiap hari.
        Doa yang menurut penilaian banyak orang sebagai tindakan yang “membuang-buang” waktu sungguh memberikan ketenangan batin, kesegaran jiwa, dan “membasuh” hidup dalam kesatuan dengan semesta. Saya menghadirkan diri dalam segala kelemahan, ketakmampuan diri tetapi juga melambungkan harapan kepada Allah sekaligus menghadirkan rasa syukur lewat doa dan pujian. Saya sudah mengalami sendiri betapa doa memberikan kekuatan, meneguhkan tatkala saya menjalani krisis hidup, “padang gurun” selama 2 tahun. Ketika semuanya tidak mampu memberikan penghiburan, ketika hari terasa berlalu sepi, ketika tanah kering dan retak menyiratkan “kemarau hidup” yang panjang, doa hadir memberikan kekuatan dan kegembiraan. Doa bagaikan mata air pegunungan yang memberikan kesejukan ketika kita “membasuh” wajah dan membilas segala “hablur” debu di tubuh, doa meringankan beban “salib” yang harus disandang dan menyalakan sumbu yang pudar nyalanya untuk menuntun langkah kaki yang gontai.
        Saya bukanlah seorang pendoa yang ulung tetapi saya mau berusaha untuk bertahan di bawah “kerindangan” doa. Bertahan kendati tidak mendapatkan apa-apa bahkan mengalami desolasi (kekeringan). Selama ini, saya berusaha untuk hadir dalam kebersamaan ibadat sore di Wisma Keuskupan dan ibadat pagi serta Ekaristi dengan komunitas Katedral. Saya berusaha untuk terus “membenamkam” diri dalam ibadat Taize di dalam kamar. Tidak ada yang mengawasi tetapi harus muncul dari kesadaran diri. Saya yang berusaha untuk terus-menerus membangun “pondasi” doa patut bersyukur karena mendapatkan keteladanan doa dari pastor Adolfo Larufa SX. Saya berusaha untuk hadir dan menemani beliau dalam kebersamaan doa.
        Keheningan doa membantu saya untuk mendengarkan suara ”sang gembala.” Ada begitu banyak suara gembala yang ter-ngiang di telinga, tetapi apakah suara itu sungguh saya kenali? Tidak jarang bahwa suara yang tidak saya kenali itu justru yang saya ikuti. Yesus setiap hari melakukan  pendekatan dari hati ke hati kepada saya lewat perjamuan Ekaristi, Dia berbicara dan ”menyentuh” saya dengan perasaan sayang-Nya, apakah saya sungguh mengenali ”suara dan sentuhan-Nya? Saya terus belajar mengenal Dia dan mengikuti Dia. Pengenalan saya akan Yesus menuntut kesiapan saya untuk ”digiring” oleh Dia. Dialah satu-satu-Nya gembala yang akan menuntun saya ke ”padang rumput panggilan” yang hijau.
        Panggilan yang Tuhan tanamkan di dalam diri saya ibarat ”benih” kecil yang sedang disemai. Saya adalah ”tanah” yang menampung benih itu. Supaya subur, saya harus membiarkan Tuhan ”membajak” diri saya dan menaburinya dengan ”pupuk” yang membantu pertumbuhan dan perkembangan benih itu. Panggilan di dalam diri saya tidak akan bertumbuh dan berkembang jika tidak mendapatkan ijinan dari Allah maka hal yang terpenting yaitu siapa yang memberi pertumbuhan? Allahlah yang memberi pertumbuhan. Supaya dapat bertumbuh dan berbuah, saya harus ”tinggal dan menetap” di dalam Yesus. Saya adalah ”ranting” dari pokok anggur yaitu Yesus. Saya rapuh dan mudah ”patah”, jika lepas dari Dia saya akan ”mandul” dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maka satu-satunya ”jalan” yang harus saya tempuh ialah mengakarkan hidup di dalam Yesus.

Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang
(Mat 12: 20).
T

uhan begitu baik, Dia memberikan kesempatan kepada saya untuk datang dan “belajar” di Keuskupan Padang supaya “sumbu panggilan” saya tidak padam melainkan tetap “menyala.”

Selasa, 11 November 2014

Belajar Membuat Blog

MENGENANG KEBAIKAN MAMA



                Malam itu, 31 Maret 2005 pukul 23.00 Wib di ruang tamu, saya bercakap-cakap dengan ibu mengenai peristiwa yang terjadi pada ayah saya sore hari itu. Dia sedang terbaring koma di rumah sakit karena serangan stroke. Semua begitu cepat terjadi dan setiap orang tidak dapat mengendalikannya. Saya dapat melihat kesedihan yang mendalam di wajah ibu. Dia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mencari nomor-nomor telepon saudara yang dapat dihubungi. Sebuah kalimat terlontar dari mulut ibu saya: “tidak disangka bahwa bapakmu harus mengalami ini terlebih dahulu, padahal saya yang berharap mendahului beliau.” Pernyataan ini tentu saja mengejutkan perasaan saya. Namun firasat itu ternyata memang sudah dirasakan oleh ibu saya.
                Setelah 5 bulan merawat ayah saya, keletihan pikiran yang terlampau berat itu mulai tampak dan akhirnya ibu saya “kalah.” Penyakit yang dideritanya telah membuat ibu yang selalu “aktif” ini tidak berdaya. Dia harus melawan kanker darah yang menggerogoti tubuhnya. Tetapi dalam ketakberdayaannya, dia tidak mengeluh sedikitpun. Ia menanggung semua sakit itu di dalam tubuhnya. Dia menyatukan penderitannya dengan penderitaan Yesus di kayu Salib. Sekalipun tak berdaya, dia selalu menanyakan: “Bagaimana keadaan ayahmu?” Saya hendak meminta maaf kepada bapakmu karena tidak dapat merawat beliau dengan baik. Saya ingin bertemu dengan beliau.
                Ketika saya membolak-balik catatan harian saya, terjumpai sepucuk surat yang pernah saya tulis untuk ibu. Menurut penuturan perawat yang selalu menemani ibu di rumah sakit Dharmais, surat ini selalu dibaca ibu ketika beliau hendak beranjak tidur meskipun tidurnya tak pernah nyenyak.


Bandung, 4 September 2005


Salam sayang untuk mama,

Hallo mama, saya selalu berdoa untuk kesembuhan mama dan bapak. Kalian berdua adalah anugrah terindah yang Allah berikan kepada saya, demikian juga kakak-kakak dan adik saya. Saya minta maaf karena tidak dapat datang menjenguk mama dan bapak tetapi doa saya terus mengalir untuk memohon rahmat kesembuhan bagi kalian. Saya percaya dan yakin bahwa Yesus “sang tersalib” akan menghibur kita sekalipun kita sedang sakit. Sikap yang yang baik adalah memasrahkan semuanya kepada Dia, kita mau berdiri di kaki salib dan solider dengan penderitaan Yesus. Dalam setiap tarikan dan hembusan nafas, saya akan selalu memohon rahmat kesembuhan bagi mama dan bapak.

Anakmu yang selalu menyayangimu,
Pardomuan Benedictus Manullang


                Sebuah pengorbanan yang tak pernah habis telah diteladankan oleh ibu saya. Bagi banyak orang, ibu saya bukanlah orang terkenal melainkan orang sederhana. Namun bagi saya, dia adalah “orang besar” karena tindakannya yang sungguh-sungguh mempraktikkan ajaran Yesus. Sebuah “mutiara” indah saya dapatkan dari beliau ketika beliau memberikan segala-galanya kepada anak-anak dan suaminya. Sungguh, “tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15: 13). Justru dalam hal inilah, ibu saya berani untuk memberikan “kesaksian” melalui seluruh waktu hidupnya. “Kilau yang cemerlang” itu tak lain adalah hatinya yang penuh cinta kepada setiap orang yang dijumpainya. Semua orang mengalami kebaikannya, perhatiannya. Kemuliaan Tuhan berbicara kepadaku melalui dua hal, yaitu: “langit yang berbintang di atasku dan cinta-kasih yang tercurah dari ibuku yang memenuhi lubuk-hatiku.” Aku akan merawat kemilaunya dan membagikannya kepada orang-orang di sekitarku. Selamat jalan mama, kunantikan perjumpaan kita kelak dalam surga abadi. “Beristirahatlah” dalam damai bersama dengan Allah yang selalu mama abdi.
                Setiap orang memiliki pengalaman hangat dengan ibunya.  Barangkali kita kurang sadar bahwa kita telah memperoleh kehangatan itu sejak kita berada dalam kandungan ibu. Kita tinggal dalam “kehangatan rahim”, “dunia internal” yang penuh perhatian, kemesraan, dan kedekatan. Mengapa banyak orang kurang menghargai “kasih” ibu? Jika kita termasuk orang yang kurang dekat dengan orangtua khususnya ibu, mulailah untuk “mendekat” kepadanya. Kalau kita sudah dekat dengan bunda, rawatlah kehangatan tersebut, jangan cemari keindahannya. Keindahan hati ibu haruslah kita “pancarkankan” keluar sehingga menembus banyak jiwa-jiwa.



Tujuh tahun kini engkau berlalu dari hidup kami
Keharuman bakti dan kehangatan kasihmu tetap hidup
Melingkungi dan menyelimuti seluruh diri
Kami kan tetap jaga agar tak jadi redup